Wednesday, June 16, 2010

Kenapa Harus Tolak Dana Aspirasi????

Saya pertama kali tau apa itu Dana Aspirasi dari Twitternya mas @benhan, dia menulis (menjelaskan) apa itu Sana aspirasi di blognya http://benhan.posterous.com/dana-aspirasi-dpr-pork-barrel-versi-indonesia atau kalu kamu malas mengklik isinya seperti ini:

Beberapa hari ini kita membaca ataupun mendengar berita mengenai Dana Aspirasi DPR yang sebesar 15 miliar rupiah per tahun per anggota. Apalagi ini? Bukannya anggota DPR sudah dapat gaji? Apakah ini jenis tunjangan baru? Saya akan menulis sedikit berdasarkan apa yang saya tahu mengenai Dana Aspirasi DPR ini.
Usulan Dana Aspirasi DPR ini awalnya dicetuskan oleh Fraksi Golkar di DPR. Gagasannya adalah setiap anggota DPR akan diberikan jatah alokasi dana sebesar 15 miliar rupiah per tahun untuk daerah pemilihannya (Dapil). Dana ini akan diambil dari APBN setiap tahunnya. Dengan jumlah anggota DPR 560 orang, besar anggaran untuk Dana Aspirasi DPR (DAD) ini mencapai nilai 8,4 triliun per tahun.
Apa alasan di balik usulan DAD ini? Sederhana jawab Fraksi Golkar, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang memuaskan. Apakah benar motif di balik usulan DAD ini adalah keprihatinan anggota DPR terhadap rakyat di daerah? Atau ada udang di balik batu? Mari kita bahas bersama.
Dana Aspirasi DPR ini bila dianalisa sangat mirip dengan "pork barrel budget" di Amerika Serikat (AS).  Apa itu pork barrel? Kok daging babi dibawa-bawa dalam anggaran pemerintah, demikian mungkin pertanyaan Anda. Pork barrel memang adalah istilah dengan konotasi negatif yang dipakai untuk mengejek praktek budgeting pemerintah pusat (Federal) AS untuk proyek-proyek di distrik anggota Congress (setara DPR) yang terpilih. Istilah "pork barrel" ini mengacu pada praktek tertentu di era sebelum Civil War (perang saudara) AS. Saat itu ada praktek memberikan budak kulit hitam se-barrel (gentong) "salt pork" (sejenis makanan dari daging babi mirip bacon) sebagai hadiah dan membiarkan mereka memperebutkan hadiah tersebut. Istilah ini dipakai karena budgeting pemerintah oleh anggota Congress untuk Dapil-nya mirip praktek tersebut. Konstituen di daerah seakan "budak yang dibeli" dan berebut dana anggaran tersebut. Dana pork barrel digunakan politisi Congress untuk "membayar balik" konstituennya dalam bentuk bantuan dana untuk proyek-proyek di daerah pemilihannya. Membayar balik dalam pengertian membalas dukungan politik yang didapatkannya sebelum ia terpilih, baik dukungan dalam bentuk suara pemilih (vote) ataupun kontribusi dalam kampanye politiknya.




Pork barrel adalah praktek yang lazim dalam politik AS namun dikecam publik. Anggaran Federal (pemerintahan pusat) berasal dari uang pembayar pajak yang taat pajak namun juga memiliki tuntutan tinggi terhadap penggunaan uang pajak. Mereka tidak terima apabila uang pembayar pajak diboroskan untuk proyek-proyek yang tidak bermanfaat. Contoh penggunaan pork barrel yang kontroversial antara lain pembangunan jembatan di Negara Bagian Alaska. Jembatan yang menghubungkan hanya 50 penduduk di sebuah desa di satu pulau ke lapangan terbang tersebut dijuluki Bridge to Nowhere (saking tidak bermanfaatnya) menghabiskan anggaran Federal sebesar 398 juta US$.
Pork barrel spending telah demikian mengakar di dunia perpolitikan AS sehingga walaupun dikecam tetap jalan. Saking mengakarnya praktek ini, anggota Congress AS akhirnya dinilai berdasarkan kemampuan mencairkan dana pork barrel untuk konstituennya. Yang berhasil mendapatkan dana besar dari Federal akan mendapatkan kemungkinan tertinggi untuk dipilih kembali pada pemilu berikutnya. Jadi pork barrel digunakan untuk melanggengkan status quo anggota Congress, sarana politik untuk mengamankan posisinya untuk pemilu berikutnya.
Selain dikecam akibat pemborosan dan anggaran yang tidak tepat sasaran, pork barrel budget juga dikritik karena sering terjadi korupsi dan kolusi dalam praktek pencairan dana. Anggota Congress disinyalir menerima "kickback" (uang persenan) dari proyek-proyek yang berhasil digolkannya. Ada juga yang mendapatkan komisi dari pemerintahan daerah atau calo pemerintahan daerah (lobbiers). Karena liarnya anggaran ini, perwakilan dari daerah akan berebut sebagaimana budak-budak kulit hitam berebut hadiah salt pork. Dan karena begitu besar kuasa anggota Congress untuk menentukan alokasi dana, masing-masing perwakilan daerah akan menawarkan komisi yang tinggi demi suksesnya pencairan dana untuk kepentingan mereka.
Apabila pork barrel budget diterapkan di sini dengan nama Dana Aspirasi DPR, hal itu berarti kita telah mencontoh politik modern AS. Sayangnya yang dicontoh adalah bagian yang jeleknya, praktek korupsi kolusi yang dilegalkan lewat kerjasama politik. Sebuah ironi di kala politisi kita sibuk mengkritik praktek neoliberalisme dalam kebijakan perekonomian AS.
Selain masalah nilai-nilai kepantasan, DAD juga telah "berdosa" sebelum dilahirkan. Dosanya adalah melanggar UU No. 17/2003, UU No.1/2004 dan UU No.33/2004.
UU 17/2003 menyebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan negara ada pada Presiden dan dikuasakan pada Menteri, diserahkan kepada Gubernur/ Bupati / Walikota, bukan pada DPR. UU tersebut juga telah mengubah paradigma budgeting dari sistem lama yang berdasarkan input menjadi sistem baru yang berdasarkan kinerja periode sebelumnya. DAD malah akan mengembalikan paradigma lama.
UU 1/2004 menyebutkan pengguna Anggaran bertanggung jawab kepada Presiden/ Gubernur/ Bupati/ Walikota. Pengguna di sini adalah Kementerian dan Lembaga eksekutif. DPR sebagai lembaga legislatif tidak diatur dalam UU untuk menggunakan Anggaran. Kembali DAD melanggar UU ini.
UU 33/2004 mengenai asas dana perimbangan yang mencakup desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. DAD menafikan prinsip desentralisasi karena alokasi anggaran dibuat oleh DPR yang ada di pusat. Hal ini melanggar prinsip otonomi daerah di mana Pemda dan DPRD-lah yang menyusun anggaran untuk daerahnya (APBD).
Selain telah melanggar hukum, DAD juga disinyalir tidak dapat mencapai motif awalnya yaitu pemerataan pembangunan dan pertumbuhan daerah. Mengapa? Karena DAD diberikan berdasarkan jumlah wakil rakyat per Dapil. Dapil di Jawa lebih banyak daripada Dapil di pulau lainnya sehingga jumlah wakil rakyatnya paling banyak. Sementara itu daerah yang miskin di Indonesia umumnya adalah daerah-daerah terpencil dengan jumlah wakil rakyat yang relatif lebih sedikit. Dengan demikian daerah yang miskin akan mendapatkan DAD dengan jumlah yang jauh lebih rendah dibanding daerah yang relatif lebih makmur. Sebagai contoh, DKI Jakarta yang memiliki angka kemiskinan terendah yakni 3,62 persen akan memperoleh dana aspirasi Rp 315 miliar, sementara Maluku yang angka Kemiskinannya 28,3 persen hanya mendapat dana aspirasi Rp 90 miliar. Jelas usulan ini bertentangan dengan logika pemerataan  yang diungkapkan DPR.
Kesimpulannya DAD tidak lain adalah politik pork barrel untuk menjaga status quo anggota DPR dengan cara membayar balik jasa konstituen dalam kampanye sebelumnya dengan menggunakan uang negara. Dengan cara tersebut anggota DPR akan mempunyai nama harum di Dapil-nya dan memperbesar kemungkinan ia terpilih kembali di pemilu berikutnya. Praktek seperti ini sudah dilegalkan di AS dan Filipina dan terbukti memang itulah tujuannya. Motivasi yang seakan mulia hanya digunakan sebagai bungkus taktik politik di balik pengusulan DAD ini.
Hendaknya fraksi-fraksi di DPR menolak usulan dari Fraksi Golkar ini kecuali memang niatnya adalah mengikuti langkah oportunis Golkar. Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga harus menolak ide ini dan memberikan penjelasan ke publik alasan penolakan. Apabila alasan penolakan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dapat dikemukakan dengan baik, niscaya publik akan setuju dan memberikan apresiasi kepada pemerintah. Saat ini beberapa LSM seperti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) telah menolak usulan DAD Golkar ini.
Silakan informasi ini didiskusikan dan disebarkan bila dirasa bermanfaat. Pendidikan publik mengenai langkah oportunis politisi Senayan ini dibutuhkan, untuk memastikan wakil rakyat kita tidak menyalahgunakan kekuasaan dengan melanggar prinsip-prinsip keadilan dan hukum di negeri ini.

>> Adapun penjelasan lain yang saya dapat:

10 Alasan Fitra Menolak Dana Aspirasi
Dzikry Subhanie - Jurnalparlemen.com

Senayan - Usulan sejumlah anggota Dewan tentang perlunya dana Rp 15 miliar per tahun per daerah pemilihan ditolak mentah-mentah oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Sekjen Sekretariat Nasional Fitra Yuna Farhan memberikan 10 alasan mengapa pihaknya menolak usulan yang disampaikan Fraksi Partai Golkar dan kemudian diamini Fraksi lainnya tersebut.

"Seknas Fitra meminta kepada Menteri Keuangan sebagai wakil Pemerintah untuk menolak permintaan DPR sebagai jawaban pemerintah atas tanggapan Fraksi-Fraksi dalam pembahasan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2011," kata Yuna dalam rilis yang diterima Jurnalparemen.com, Selasa (1/6).

Yuna lantas memaparkan 10 alasan yang melatarbelakangi penolakan tersebut. Pertama, dana aspirasi menyuburkan calo anggaran. Menurutnya, DPR tak ubahnya menjadi calo anggaran yang legal bagi daerah pemilihannya.

"Daerah akan berlomba-lomba datang ke Jakarta untuk melobi anggota DPR daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh dana aspirasi. Peluang adanya kick back bagi anggota DPR sangat mungkin terjadi. Di mana terjadi pemotongan dana aspirasi bagi daerah pemilihan untuk menyetor kembali ke anggota DPR.  Seharusnya DPR belajar dari kasus P2SEM di Jawa Timur, di mana uang pemberdayaan masyarakat berdasarkan rekomendasi DPRD ini, telah menjerah DPRD di Provinsi dan Kab/Kota di Jawa Timur, karena menerima kick back dana P2SEM," papar Yuna.

Kedua, dana  aspirasi memperbesar jurang kemiskinan antar daerah. "Alasan Dana Aspirasi untuk memeratakan anggaran juga tidak masuk akal. Adanya dana aspirasi berdasarkan daerah Pemilihan justru akan memperlebar antara daerah miskin dan kaya karena anggaran hanya terpusat pada daerah-daerah yang banyak penduduknya (sesuai dengan proporsionalitas penentuan dapil) dibandingkan daerah yang miskin.  Sebagai contoh, DKI Jakarta yang memiliki angka kemiskinan terendah yakni 3,62 persen akan memperoleh dana aspirasi Rp 315 miliar, sementara Maluku yang angka Kemiskinannya 28,3 persen hanya mendapat dana aspirasi Rp 90 miliar. Jelas usulan ini bertentangan dengan logika pemerataan  yang diungkapkan DPR," katanya.

Ketiga, dana aspirasi mengacaukan sistem perencanaan penganggaran dan perimbangan keuangan. Sistem Perencanaan Penganggaran menggunakan pendekatan level Pemerintahan mulai dari Kab/kota, Provinsi dan Pusat. Sementara dana aspirasi mempergunakan pendekatan daerah pemilihan yang tidak identik dengan sistem pemerintahan. Data-data statistik seperti angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi pengangguran termasuk penentuan alokasi dana perimbangan mempergunakan pendekatan level pemerintahan. "Dengan adanya dana aspirasi akan semakin sulit diukur dampak suatu anggaran pada suatu daerah," tegasnya.

Keempat, dana aspirasi tidak sesuai dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja.  Sejak tahun 2003 Indonesia memiliki UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang telah mengubah paradigma penganggaran dari sistem tradisional yang berorientasi pada input atau anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja yang dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian  hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Dengan adanya dana aspirasi yang dibagi rata menurut daerah Pemilihan, jelas DPR masih menggunakan paradigma lama anggaran yang hanya berorientasi pada input atau sekadar menghabiskan anggaran tanpa melihat kinerja yang akan dicapai.

Kelima, dana aspirasi bertentangan dengan azas dana perimbangan. Adanya dana aspirasi semakin menambah panjang deretan dana liar ke daerah yang tidak sesuai dengan azas dana perimbangan yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, seperti diamanatkan UU No 33 tahun 2004. DPR tidak bisa serta merta mengalokasikan dana aspirasi sebelum melakukan perubahan pada UU No 33/2004.

Keenam, dana aspirasi menyebabkan anggaran tidak efisien. Misalnya Jawa Barat yang memiliki permasalahan angka kematian ibu  tinggi, dengan 91 kursi memperoleh dana aspirasi Rp 1,3 triliun. Dengan anggaran 1,3 triliun seharusnya bisa menyelesaikan masalah kematian ibu di Jawa Barat, namun karena 91 kursi dimiliki oleh partai berbeda-beda maka penggunaan anggaran menjadi fragmented dan tidak efisien. Sehingga anggaran yang besar tidak mampu menjawab persoalan yang ada.

Ketujuh, dana aspirasi tidak memiliki landasan hukum.  Jika dana aspirasi ini jadi dialokasikan pada APBN 2011 maka dapat dikatakan dana aspirasi ini merupakan dana ilegal karena tidak memiliki dasar hukum. Pasal 12 ayat (2) UU No 17/2003 menyatakan RAPBN disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah, tidak berdasarkan daerah pemilihan, oleh karena DPR tidak memiliki instrumen perencanaan yang merupakan domain pemerintah.

Kedelapan, DPR tidak memiliki hak budget.  "DPR selama ini salah kaprah  menyatakan memiliki hak budget. Baik konstitusi maupun UU N0 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPR tidak mengenal adanya hak budget bagi DPR. DPR hanya memiliki fungsi anggaran sebagaimana pasal 70 ayat (2) yang menyatakan, fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden. Jadi tidak ada hak DPR untuk memintah jatah alokasi anggaran dana aspirasi. Fungsi anggaran DPR seharusnya ditujukan agar RAPBN yang diajukan Pemerintah mencapai tujuan bernegara," papar Yuna.

Kesembilan, lanjut Yuna, dana aspirasi tidak memberikan insentif politik bagi DPR. Sebab, DPR bukanlah eksekutor anggaran. DPR hanya bisa menggarkan dana aspirasinya untuk dilaksanakan oleh Unit Kerja Pemerintah Pusat atau daerah. Sehingga sulit bagi DPR untuk  memperoleh insentif politik dari adanya dana aspirasi.

Kesepuluh, dana aspirasi melanggengkan status quo. "Menjelang Pemilu jelas dana aspirasi akan menjadi efektif sebagai pork barrel untuk menarik simpati Pemilih. Jelas ini akan menghasilkan kontestasi politik yang tidak sehat antara peserta Pemilu dan hanya memberikan peluang akan berkuasanya DPR yang status quo," pungkas Yuna. (zik/zik)

2 comments:

  1. Masih mending kalau dana semacam itu direalisasikan dalam bentuk proyek yang dinikmati masyarakat. Jangan-jangan justru uangnya dimakan sendiri (lewat rekayasa sedemikian rupa). Butkinya dana aspirasi anggoota DPRD di sejumlah kabpaten tahun-tahun lalu, tak ada yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Karena proyeknya pun asal jadi.
    Makanya kita tolak DAD, bagaimana pun caranya!

    ReplyDelete
  2. Yah memang ujung2nya itu uang lari kemana semua orang juga bisa tarik kesimpulan. Bukan memperbagus yang udah dijalanin malah setengah2 jadinya gak maksimal. Lagian heran kenapa ada DAD?? Kan udah ada APBD :)

    ReplyDelete