Tuesday, November 23, 2010

(Takdir) Aku dan Hujan

Aku terduduk di bangku taman yang basah dibawah hujan. Gaun putihku kotor diujungnya karena menyapu jalan. Tak kupedulikan sekitar, orang-orang yang menepi untuk melindungi diri terlihat berbisik-bisik. Bicaralah! Aku tak peduli. Tom pun sudah hilang. Ia mengecewakanku tepat sebelum kami, aku dan dia memasuki altar. Ia berbohong akan menemaniku sampai nanti kulit kami keriput dimakan usia. Bahkan dia belum melihatku memakai gaun putih special ini. Kulitku yang halus terbungkus dengan apik dengan riasan cantik. Tom tidak pernah datang dan tidak mengijinkanku untuk melemparkan bunga kebahagian untuk teman-temanku yang sudah bersemangat menantinya. Alison hanya memelukku dengan tubuh ngilu. Tidak Al! ini pasti salah, untuk apa kamu memelukku? Tom tidak mati, ia baru saja meneleponku. Aku melepaskan pelukan Alison. Lututku lemas. D... Mom.... kenapa mereka menangis? Ini bohong besar, mereka tertipu! Segera ku ambil kunci mobil, Alison mengejarku. Sial! Kunci ini tidak mau berkompromi, dengan susah payah aku mencoba memasukan dengan benar. Alison mengambil alih kunci dari genggamanku. Dengan cepat aku menginjak gas menuju Rumah Sakit. Hening menyelimuti aku dan Alison, tak ada sepatah katapun yang meluncur dari mulut kami berdua.

Aku keluar dari Emergency Rooms dengan linangan air mata. Alison memelukku. Aku menepisnya dengan cepat. "Biarkan aku sendiri". Menembus hujan yang turun derasnya menghancurkan riasanku seketika. Rambut ikalku yang sudah tergelung rapi lepas dan menjadi lepek. Riasan mataku hancur akibat eyeliner yang pudar. Alison dengan setia menemaniku dari dalam mobil.

Aku terduduk di bangku taman yang basah dibawah hujan. Gaun putihku kotor diujungnya karena menyapu jalan. Aku hanya sedang berpikir. Dejavu. Inilah isi mimpiku setiap aku berulang tahun. Semesta yang memelukku dengan hawa dingin membuat jariku keriput, hujan belum berhenti, angin mengecup pipiku yang membuat rahangku semakin mengatup. Kulihat jam tangan yang melingkar ditangan kiriku, Tom yang memberikannya setelah ia bertugas dari Kanada. Sepuluh menit sebelum jarum jam menunjuk pukul lima tepat. Aku menoleh menyapu jalanan, Alison masih menungguku di dalam mobil, ia melambaikan tangannya mengajakku masuk ke dalam mobil. Aku terdiam menunggu sesuatu. Lima menit sebelum menuju jam lima tepat. Hujan sudah berhenti, membayar lunas tangisanku yang seharusnya masih mengalir. Semburat senja yang menggoda dihiasi pelangi centil yang memamerkan warna warninya terlihat cantik dibalik pohon Maple. Suara daun yang bergemerisik membuatku terperangah. Sosoknya yang tampan dibalut Tuxedo mendekatiku. Tanpa bersuara ia duduk disebelahku. Bicaralah melalui batinmu Lea. Alison masih memperhatikanmu, kau bisa dianggapnya gila, ia tak bisa melihat sosokku. Kamulah wanita pilihanku dimasa depan. Tom mati bukan karena salahmu. Ini takdir dari masa depan yang mengharuskannya mati dengan cara demikian. Kau tak bisa lari. Kamu adalah wanita terpilih Lea.

Aku masih mematung sesampainya di rumah. Pikiran yang bergelut dan kejadian aneh yang belum masuk akal pikiran masih merundungku. Mom menyambutku dengan syal hangat dan secangkir coklat panas buatannya. Langit kembali menurunkan jutaan liter air hujan. Mom menuntunku ke kamar, menjagaku sampai tertidur. "Tidurlah Mom bila aku sudah tertidur, jangan menjagaku". Ya. Aku hanya ingin tertidur. Kembali ke dalam mimpi yang sama setiap aku berulang tahun. James sudah menungguku di pintu itu. Aku memejamkan mata dalam mimpiku, membayangkan wajah Mom dan D. Aku tahu kemanapun aku berlari sosoknya akan muncul dihadapanku kapan saja. Batinku menangis mengingat kejadian demi kejadian dan orang-orang dalam kehidupan normalku. Maafkan aku. James menggamit telapak tanganku lembut. Jangan bersedih Lea, kamu akan mengerti setelah hidup di dunia barumu. Kehidupan Dewa memang ada, itu bukan hanya sebuah dongeng anak kecil. Aku melangkah melewati langit pekat yang mengguyurkan hujan tanpa menoleh kembali.

Sunday, November 21, 2010

Surat Untuk Ibu Laksmi Utami...

Untuk Ibu Laksmi Utami...

Kamu sudah menjadi ibu kan? Perjalanan dalam usia 34 menuju 35 apakah sudah ada kerut dimatamu? Atau masih muda seperti sekarang? Kalau belum menikah jangan bersedih, masih ingatkah hatimu selalu berbicara, "Masih banyak cinta yang bisa dibagi". Mungkin benar kamu adalah jelmaan malaikat baik hati yang bertugas memberikan cinta untuk siapa saja. Tersenyumlah!!

Untuk Ibu Laksmi Utami...

Kalau kamu sudah menikah, bahagiakah dengan lelaki masa depanmu? Sampaikan padanya, dia telah membuat aku khawatir dan sedih di usia 24 menuju 35. Apa kabar bayi kecil? Anakmu pasti lucu sekali sudah mulai belajar di bangku TK. Apakah keluarga kecil itu sesuai mimpi yang kamu ukir setiap harinya? Tersenyumlah!
!

Untuk Ibu Laksmi Utami...

Apakah rangkaian kata tersebut bermakna? Masih bernapaskah kamu di dunia? Apakah kamu di masa depan masih sering mengecewakan Tuhan dengan menanggalkan sajadah dan mukena? Buatlah kamu dan Tuhan tersenyum!!

Tuesday, November 16, 2010

Keangkuhan Senja

Senja yang lugu merapalkan semburat merah jingga di balik bangunan rumah dan kabel listrik yang melintang. Dengan hembusan napas teratur ia menengadahkan wajahnya melihat langit itu di balik jendela. Tak ada lagi sebuah nama pria yang mampu ia ingat untuk diberinya tumpangan cinta. Ia seperti dalam sebuah kapal tak bernahkoda, diingatnya kembali rentetan kisah masa silam. Tidak ada yang menarik selain kesedihan yang harus diingatnya. Sisa-sisa kesombongan masih kentara dalam jiwanya. Penyesalan dalam kesombongan yang membuatnya jatuh meluruh tidak lantas membuat semuanya berbalik.

Masih dalam kesombongan yang sama. Tidak perlu penyesalan yang lahir dalam sebuah ego.

Masih dalam kesombongan yang sama dalam setiap harinya. Mengaburkan rasa untuk dikuburkan. Tidak ada yang bergerak di luar sana. Anginpun bisu mengokohkan senja yang begitu di puja.

Monday, November 15, 2010

Ketika Dewa Bercinta

Angin berubah menjadi badai. Tubuh manusia yang secuil beras itu tidak mengetahui dewa Zeus sedang memuntahkan murkanya. Rasa haus akan wanita yang dimiliki Ares membuatnya malu. Satu per satu wanita didekatinya. Perseturuan antara Iris dan Afrodit menjadi puncak kekesalan dan gunjingan di kalangan dewa dewi. Zeus mengganjarnya dengan mengirimkan mereka ke Bumi.

Ares terlahir menjadi seorang dokter tampan yang baik hati. Zeus berharap hukuman ini membuatnya menjadi pria sejati. Matahari terbit yang menyembul dari pegunungan adalah awal kehidupan baru bagi Ares. Ia melamun dalam tubuh manusianya. "Dokter, ada pasien UGD" suara suster Hesti memecah lamunannya. Ia beranjak pergi tanpa menoleh. Suster Hesti yang ayu terdiam kecut. Seandainya Ares tau dia adalah Hestia yang sengaja mengejarnya ke bumi.

Blackberry yang sedari tadi berbunyi sama sekali tak diacuhkan sang empunya. Dita tersenyum nakal menggoda Ervan. Wajah cantik secerah bulan yang bersinar terang dibalik gelapnya malam tak henti-hentinya membuai angan Ervan untuk memiliki wanita ini. Dita pamit ke toilet. Beranjak perlahan dari sofa memakai bodycon hitam dengan rambut pekat panjang membuat siapapun yang melihatnya tak kuasa mengalihkan muka. Dita tersenyum malas dalam hati. Aku suka bumi, kecantikan seorang Afrodit tak hilang di tubuh seorang manusia sekalipun.

Di tengah cuaca panas hujan turun dengan derasnya, matahari yang kebingungan seketika melihat sesosok wanita yang sedang menangis mengangguk paham. Iris menengadahkan muka. Rindu akan pelangi yang mendamaikan hati.

Di kejauhan Ares melihat keanehan cuaca ini. Ia memejamkan mata menyampaikan pesan melalui batinnya.

"Iris itukah kamu yang menangis?"

"Ares? Itukah kamu? Tolong aku! Aku tidak ingin menjadi manusia, kembalikan aku ke langit. Bujuk Zeus untuk menjemputku! Aku takut disini" dengan panik Iris menatap sekeliling, berharap Ares ada disampingnya.

Ares yang ingin menenangkan Iris gusar, cepat-cepat ia menarik diri untuk menemukannya. Iris bertahanlah. Tak terasa Ares menggumam. Hestia yang mendengar merasa perih. Segera ia kembali ke dunia dewa dewi. Satu yang ingin ditemuinya, Hades. Dengan gigih akhirnya ia berhasil menemuinya. Meminta pertolongan agar ia bisa bersatu dengan Ares walau dengan cara hitam sekalipun. Hades menyetujuinya dengan satu syarat. Hestia menyanggupinya dan kembali ke bumi.

Kondisi Iris yang lemah menyulitkan Ares untuk mengetahui keberadaannya. Hestia yang awalnya merasa senang terlihat khawatir dengan kondisi Ares yang ikut menurun. Adaptasi tubuh manusia tak berpihak padanya. Hari demi hari Hestia merawat Ares yang melemah, membuatnya makanan yang beragam agar tubuhnya kembali kuat. Ares perlahan pulih, dalam tidurnya ia mendengar Hestia berdoa agar Zeus mengembalikannya ke langit. Dalam ruangan yang sunyi serta bisikan doa Hestia yang syahdu menenggelamkan perasaan Ares ke jurang cinta.

Iris yang sebatang kara tersesat di dalam hutan terkejut melihat sosok Hades. Hutan yang sunyi semakin kelam dengan keberadaannya. Hades tertawa sinis. Percakapan batin diantara mereka sangat sengit. Hades akan mengembalikan Iris dengan satu syarat, ia boleh menyetubuhinya. Dengan murka Iris berteriak sengit. Hades memberinya penerangan batin, memberinya cuplikan kehidupan Ares dan Hestia. Darah Iris seketika mendidih. Ia sudah jatuh terperosok. Dikhianati sedalam laut yang pernah didatanginya. Iris menyerahkan diri.

Di atas angin Hestia mengabdi pada Ares. Namun Hestia bukanlah wanita yang tamak yang mampu berlama-lama bersenang-senang di atas kesusahan Iris dan Afrodit. Ia mengaku di suatu Malam tanpa bintang. Ares yang tak siap mendengar ini semua hanya berdiam diri. Hanya terdengar rintihan burung hantu yang menangis pilu. Hestia menangis tersedu. Bersumpah untuk mendapat ganjaran hidup di bumi selama hidupnya.

Zeus yang melihat ini semua termenung. Mereka sudah memilih hidupnya. Sudah waktunya bagi Ares pulalng.

Ares yang menjadi pendiam menghadap sang penguasa langit. "Ubah aku menjadi patung dengan baju Zirahku!" pintanya. Zeus menjentikkan jarinya, terjadilah.

Wednesday, November 10, 2010

ELEGI

Terjebak dalam tubuhnya yang sedang tidur, Sean berkelahi dengan rohnya sendiri. Haruskah ia tetap di alam mimpi atau kembali ke dunia nyata? Roh Sean mengamati dunia yang teramat sepi dimalam hari, dentang jarum jam semakin meninabobokannya. Saat bermimpi ia selalu hidup sebagai Sean dalam hitungan mundur. Awalnya ia kira itu hanya mimpi. Malam berganti malam, akhirnya ia sadar bahwa itu kenyataan yang membingungkan. Sean tidak ingin bangun malam ini, ia teramat senang bisa melihat kembali istrinya yang menghilang secara tiba-tiba 13 bulan yang lalu. Sarah seperti seorang dewi. Dengan tatapan mata birunya yang teduh selalu membuat Sean merasa hidup. Gaun putih yang melambai membuatnya terlihat melayang. Angin menyibakkan rambutnya, ah tato peri di pundaknya membuat Sean berdenyut penuh nafsu. Sentuhan tangannya lembut sama seperti dulu. Sean menikmati rindu itu, mencium Sarah dengan penuh cinta. Kening, bibir, dan perlahan mulai turun ke lehernya. Sean bahkan masih terampil memainkan tangannya, melucuti pakaian Sarah dan menjamah tubuhnya..... Sean terbangun. Pelipisnya penuh peluh. Sarah begitu nyata. Rasa manis bibir dan harum tubuhnya masih sangat jelas. Pandangannya berpendar masuk ke dalam bayang masa lalu.

Sean berpikir ia mungkin menjadi gila, berhalusinasi di malam dan siang hari. Suara-suara tak terdengar memainkan peran dalam otaknya. Satu persatu kejadian masa depan bisa dilihatnya. Sean merasa ngeri dengan kelebihannya. Ia ingin ke Psikolog. Tapi ia terlalu takut mendapat jawaban yang tidak ia harapkan. Sean semakin murung. Malam hari ia merasa takut semakin mengecil. Ia bahkan semakin membenci siang. Kematian lalu lalang diotaknya. Bagaimana mungkin ia rela membiarkan pikirannya terjun bebas ke alam kematian dimana satu per satu orang-orang terdekatnya masuk di dalam alamnya.

Rabu, 13 Maret 1983

Sean melihat kematiannya sendiri 3 jam sebelum maut menjemputnya. Mimpi yang menghitung mundur dan hidup masa depannya yang semakin berkurang membuat Sean tersadar ia hidup dalam bayang-bayang. Menerimanya mentah-mentah sebagai budak yang dungu. Sean segera berlari ke parkiran. Ia sudah kehilangan satu jam hidupnya. Iriana. Dokter itu yang bisa membantunya. Serampangan Sean membawa mobil, terdengar klakson yang bersahutan mengeluarkan amarah. Sean sungguh tak memperdulikannya. Dinaikinya anak tangga dua dua. Diketuknya pintu. Tak ada sahutan. Sean tak mempunyai waktu banyak. Nafasnya tersengal. Ia segera membuka pintu itu, tak dikunci. Sean terhuyung menyusuri isi rumah. Dilihatnya Iriana yang sedang memunggunginya. Berdoa dihadapan rosario dengan tudung menutupi kepala.... "Iriana tolong aku" Sean mendekat, menggapai hampa tudungnya yang tersingkap. Tato peri itu sekelebat terlihat dalam penglihatan Sean yang memudar.

Tuesday, November 09, 2010

Apakah Tuhan Tahu Aku Ada??

Dira tak pernah membayangkan kematian yang begitu dekat tidak tampak menyeramkan dalam khayalannya selama ini. Dipikirannya Malaikat mautpun enggan untuk berbaik hati di saat kematian datang sekalipun untuk dirinya yang terbuang. Ia bersandar pada tembok sebuah toko yang tidak terlalu ramai, disaat terbatuk ia melihat sebuah bayangan. Dira tersenyum sinis, aku mati ditempat yang tak seharusnya, aku mati tanpa keluarga, mungkin aku mati pun tanpa sebuah nama. Apakah Tuhan tahu aku ada?? Aku sudah lama percaya bahwa Tuhan itu tidak ada. Kecuali ia mewujudkan mimpiku.

Malaikat maut segera menjalankan tugasnya. "Apakah aku akan dihidupkan kembali?" Ini bukan sebuah pertanyaan menantang, lebih pada harapan yang terselip dalam nada ego. Malaikat maut berhenti sejenak, ada negosiasi yang tercium dalam waktu tersebut. Ia mengantongi data kehidupan Dira secara utuh. Ia tahu apa yang harus diperbuat. Dengan tatapan penuh arti mereka tersenyum masing-masing. Malaikat mautpun segera menjalankan tugasnya.

Sore itu toko kelontong Pak Supri sangat ramai, bukan karena pembeli, tapi karena Dira mati. Tak ada yang tahu tentangnya. Tak ada yang tahu namanya. Dira benar-benar mayat tanpa nama yang akhirnya dikubur ala kadarnya. Sore beringsut. Terdengar suara tangis di malam hari, rintihan bayi terbungkus kain dalam sebuah dus yang dibuang ibunya dalam dinginnya cuaca. Dira hidup kembali. Tersenyum membagi cahaya yang siap menemani orang-orang terbuang seperti dirinya di masa lalu dalam kerlip bintang. Jangan bersedih adik kecil, tataplah aku dalam sedihmu!!

Sunday, November 07, 2010

Gadis Berambut Kemoceng

"Hei gadis berambut kemoceng, kamu sudah datang"

Sapaan khas kakek membuatku tersenyum. Ia hanya ingat aku, si gadis berambut kemoceng yang suka berbagi cerita hidupnya, bukan cucu yang sangat senang kalau Sabtu tiba untuk mengunjungi kakeknya.

Di suatu sore 2 bulan yang lalu, Kakek di vonis menderita Alzheimer. Penyakit ini semakin membuatnya terlihat tua. Terkadang ia marah tanpa sebab, pikunnya membuat kami sekeluarga bersedih. Satu persatu keluarga tak dikenalinya. Aku lebih suka mengunjungi kakek sendirian, menemaninya di pagi hari setelah aku berolahraga.

"Nenek cantik ya, ia awet muda tidak beruban dan keriput seperti aku" ia terkekeh mengajakku duduk disampingnya. Suster Inne yang ramah memakluminya, ia pamit meninggalkan kami berdua. Kakek cemberut ketika Suster Inne pergi. Aku memegang tangannya, membelainya menenangkan. Ia menatapku, aku tersenyum lalu memeluknya. Kakek memintaku untuk memotret dirinya lagi, berdua denganku. Ia memberi lihat hasil foto yang 2 minggu lalu aku berikan. Dengan bangga ia menunjukan sisi belakang foto, disana tertulis dengan rapih: Gadis Berambut Kemoceng. "Nenek yang menuliskannya untukku" Kakek berbisik lalu cepat-cepat memasukan fotonya di kantong jaketnya. Aku terharu menahan tangis, memegang tangannya kembali bercerita. Entah apa Kakek mengerti dan akan tetap ingat ceritaku aku tak perduli. Aku selalu merasa lega setelah bercerita semua masalahku padanya. Tak terasa matahari sudah menanjak di atas kepala kami, Kakek merasa sangat lelah dan lapar. Aku menggamitnya berdiri. Aku sampai hapal suster Inne dan Donepezil seperti satu kesatuan, Kakek tidak mau minum obat kalau bukan "Nenek" yang memberinya. Ia selalu berhasil membuatku tersenyum. Akupun pulang setelah ia tertidur.

Sabtu ini aku kembali dari Dubai khusus untuk mengunjungi kakek. Pekerjaan aku tinggal sementara waktu. "Maaf Kek aku baru sempat datang". Aku terisak, tak lagi perlu menahannya. Lalu aku menebarkan bunga dan tak lupa menaruh foto baru yang seharusnya sempat Kakek lihat diatas pusaranya. Ibu lalu memelukku, "Zev.. Suster Inne memberikan ini ke Mama" disodorkannya sebuah foto dengan tulisan di sisi belakang: si Gadis Berambut Kemoceng.

Saturday, November 06, 2010

Karena Mey Hong

Aku bersembunyi di balik lemari, ini malam pertamaku. Seharusnya ini adalah malam yang indah untuk pasangan suami istri baru. Terkecuali untukku yang diperistri seorang pria lapuk gendut. Ranjang besi yang menjadi tempat tidur pengantin kami berderit, jantungku mulai berdetak tak karuan. Lemari yang sempit ditambah baju ala pengantin Cina ini seakan mencekikku. Ko Hong mulai celingukan ketika kulihat dari pintu lemari. "Meeeeeyyyy....." Ko Koh memanggilku merdu. Kali ini rasanya perutku sedang berakrobat, berjumpalitan membuat benang kusut. Ranjang kembali berderit diikuti suara gesekan sandal. Aku kembali mengintip, kini rasanya aku seperti mau mati, Ko Koh melewati lemari. Aku bergerak tak sengaja membuat gaduh. Pintu terbuka. Ko Hong membelalak melihat aku di dalam lemari. Aku terkejut. Benar-benar pingsan.

9 bulan kemudian....

Persalinanku memakan waktu yang cukup lama. Keringat sebesar biji jagung turun satu persatu dari pelipis si gendut. Ko Hong menggenggam tanganku khawatir... Ia terus berbicara dalam bahasa Cina Kantonnya yang kental. Terkadang aku mencair melihat Ko Hong yang penuh cinta. Tapi aku sebal, ia seperti memperkosaku saat aku jatuh pingsan di malam pertama kami. Kehidupan selama 9 bulan ini penuh warna. Ko Hong yang begitu dewasa tampak merasa bersalah. Aku yang masih muda dikuasai oleh emosi yang menggebu. Di awal pernikahan aku begitu manja, menyuruhnya kesana kemari untuk membeli berbagai keinginanku. Terkadang aku tertawa melihatnya penuh dengan keringat, badan gendutnya memerah menahan lelah.

Sore ini lahirlah putri cantik kami. Aku menyusuinya berseri. Dengan bibir semerah buah ceri ia menyusu di dadaku yang ranum. Rambutnya yang hitam pekat sangat lebat. Ko Hong yang tak berani mendekat hanya berdiri di sudut ranjang memperhatikan kami. Aku dan putri mungilnya. Buah cinta kami. Pada detik itu aku melihat Ko Hong sangat bersinar. Bukan karena perut gendutnya. Karena hatiku mulai bergetar setiap kali ia menatapku penuh kasih. Aku menitikkan air mata. Kini aku tahu, Opa menjodohkanku dengannya karena satu hal. Ko Hong orang yang sangat baik. Aku tersenyum memintanya mendekat. Ko Hong terbelalak. Ia mendekat. Menitikan air matanya saat menyentuh bayi mungil kami, lalu ia berkata sambil mentapku pasti, "Mey Hong cantik seperti Ibunya".

Friday, November 05, 2010

Hari Baru

Bunga kecil menangkap sesosok wanita cantik yang sedang berjalan menuju sebuah cafe di sudut jalan. Ia terlihat sibuk setelah memarkir mobilnya, menerima sebuah telepon sambil membawa tas cantik dan sebuah bungkusan yang dibungkus apik. Wanita itu terlihat mahal di mata Bunga. Punggungnya perlahan hilang dibalik pintu cafe. Menenggelamkan pemandangan indah di sore itu. Tapi tak lama ia muncul kembali, pintu cafe terbuka memperlihatkan wajah cantiknya. Ia berjalan santai ke arah mobil sambil membawa segelas minuman. Rambut lurusnya dibentuk ponytail yang diikat tinggi-tinggi. Matanya dilindungi kacamata hitam yang membuatnya semakin terlihat keren. Terusan hijau botol membalut tubuhnya yang putih semakin membuatnya bersinar. Serupa model yang ia lihat di majalah. Wanita yang menarik. "Cantik seperti Kak Rose". Tak terasa Bunga menggumam sendiri.

Bunga menerawang mengingat minggu lalu, hari dimana ia pergi dari rumah setelah melihat Ibu dan kakaknya di bawa paksa oleh majikan Ibu yang seorang renternir. "Lebih baik aku jual kalian untuk membayar hutang-hutangmu yang segunung". Tuan Sigit mendorong tubuh Ibu yang lemah. Ibu menangis memohon agar Kak Rose tidak ikut dibawa. Wajah cantiknya dipenuhi air mata. Ia mencoba berontak. Kak Rose yang malang. Ia di pukul sampai pingsan oleh kaki tangan Tuan yang mengerikan itu. Bunga hanya bisa mengintip dari balik tempat tidur. Yang ia yakini adalah Ibu berteriak memberinya isyarat menyuruhnya pergi dari rumah yang biasa mereka tinggali secepatnya. Ayahnya yang pergi mengadu nasib ke luar pulau belum terdengar kabarnya 2 tahun ini. Bunga menangis terisak di depan sebuah etalase toko.

Tak lama Bunga mendapati dirinya sedang asik melihat sepasang Kakek dan Nenek yang sedang berjalan bergandengan menuju ke arahnya dibalik senja yang mulai turun. Mereka berjalan dalam diam. Sesekali mereka beradu pandang dengan tatapan penuh cinta. Bunga tak bisa menahan rasa penasarannya. "Dimana anak dan cucu kalian?". Kakek dan nenek itu tersenyum. Sang nenek mengusap air mata Bunga yang belum kering. "Kami tidak punya. Kamu jangan menangis! Tuhan sedang merencanakan kabar bahagia untukmu". Mereka lalu memberikan senyuman paling manis yang pernah Bunga lihat sepanjang hidupnya. Merekapun berlalu dari pandangannya.

Malam menjemput. Bunga tak menyukainya. Pekatnya semakin membuatnya bersedih. Tapi ia bersumpah pada dirinya untuk tidak menangis lagi. Bunga yakin Tuhan akan memberinya rasa bahagia. Seminggu ini ia bertahan hidup membantu mencuci piring-piring seorang Ibu pemilik Warteg tanpa diberi upah. Bisa makanpun cukup pikirnya. Sore hari ia hanya berjalan-jalan berharap bisa bertemu orang-orang terkasihnya. Dipungutnya koran yang sengaja ditinggal oleh seorang wanita di halte bis. Kepandaian Ibu yang membuatnya bisa membaca seperti sekarang. "Hahahahahhaa seperti orang dewasa saja kau membaca koran". Pedagang asongan itu menertawainya. Bunga hanya mengerutkan kening. Mungkin benar apa yang pedagang itu bilang. Mungkin ia orang dewasa yang terjebak dalam tubuh seorang anak kecil. Menyusuri jalanan yang gelap Bunga menenteng koran yang tadi dibacanya. Kebiasaan seminggu ini mencari koran/kardus bekas sebagai alas tidurnya di Stasiun Kereta Api.

Malam sudah sangat larut seingat Bunga ketika Ibu membangunkannya. Ia menarik tubuh Bunga lalu memeluknya. Wajah Kak Rose yang pucat tersenyum hangat membelai tubuhnya. Bunga seketika menangis memecah malam. Ia menciumi Ibu dan kakaknya. "Maafkan kami baru menjemputmu, kami harus menyelesaikan beberapa urusan" Ibu tersenyum getir memeluknya dan kak Rose.

Esok paginya Bunga sudah duduk di dalam kereta menikmati pemandangan kabel listrik, rumah dan sawah yang silih berganti. Ia senang sekali dengan ide Ibu yang mengajaknya pindah ke luar daerah. Rasa lelahnya menyebabkan kantuk. Tangan kecilnya menggenggam tangan Ibu. Kak Rose memandanginya. Ibu tersenyum penuh arti. Ya Bunga. Kami butuh waktu seminggu untuk menyingkirkan Tuan Sigit. Dipeluknya erat tas yang penuh berisi uang. Sudah saatnya kita pindah dan menjemput hari baru bisiknya.

Wednesday, November 03, 2010

Tanya?

Dengan angin yang mematahkan sunyi.... membisikan sesuatu yang tak ia mengerti

Lentik jariku yang merangkai rindu
Dengan mata yang membentuk bulan sabit, memandang sosoknya dalam sebuah foto

Implisit dalam sebuah tanda tanya....

Koma sudah ribuan kali mempecundangi sebuah titik

Sampai kapan ia berhenti di penghujung penantianku?