Thursday, December 23, 2010

Cinta (Tak) Semusim

Ditutup dengan gelengan kepala aku pamit dan berlalu dari hadapan Bian dengan santai. Sudah beberapa kali aku melewati kejadian seperti ini, wajah kecewa, penolakan, bahkan cacian hanya menjadi bumbu yang tak perlu aku khawatirkan.

Kali ini lain. Sore yang meredup ditemani lagu lawas Justin Timberlake membuat aku dan Bian tertawa-tawa dan bersahutan melantunkan lagu Senorita, ini sangat mustahil kami lakukan di depan teman-teman yang lain. Sambil mengetik beberapa data aku sesekali tertawa melihat tingkah konyol Bian, sambil menunggu hasil copy-an file, ia menari-nari ala JT dan MJ. Tiba-tiba diakhir lagu ia sudah ada di depan layar komputerku sambil menatap dengan lembut dan menggoda, "gentelmen.. Good night, Ladies... Good morning..." aku tertawa lepas dan menutupi mukanya dengan kertas yang sudah tak dipakai. Ia tergelak dan meraih pergelangan dan memaksa aku untuk beristirahat sejenak. Aku melepaskan tangan Bian dengan halus dan mengikutinya sejajar. Tak biasanya ia seceria ini, Bian adalah rekan kerjaku yang sangat dipercaya dan diandalkan, ia berwajah manis dan sangat berwibawa. Satu jam lewat kami berada di kafe ini, perut yang keroncongan sudah terisi, bahan rapat esok hari sudah habis kami bahas. Entah apa maksud Bian, ia sangat tau aku tidak punya keinginan untuk menikah dan mempunyai pasangan. Bian tau aku sangat trauma dengan melihat pernikahan Bapak dan Ibuku. Bian melamar tepat saat jarum jam menunjuk angka enam dan tiga. Aku sudah tidak ingin lagi mendengarnya, yang terdengar hanyalah akhir kalimatnya yang lembut dan perhatian, "Beri aku kesempatan membuka duniamu".

*****

Aku mencaci udara yang kering, tangisku pecah meraung, menggenang kenang sosok Ibu yang sudah tenang dalam peristirahatannnya. Seandainya aku bisa menggapai Bapak dan menyeretnya keluar dari pikiranku, kini aku sudah menjadi Ibu.

"Biaannn.... Beri aku waktu" bisikku pada angin yang bisu.

*****

Tiga bulan sudah aku menapaki Borneo. Kenangan hiruk pikuk Jakarta dan Kosan Hijau dibalik gang sempit mencambukku sesekali waktu. Biaaannn....

Baru saja sinyal maya mengantarku dihadapannya, telah kukubur ego rapat-rapat, mencumbu bayangannya sesaat.

Tak lama pintu dibuka dari luar kamar. Arman masuk membawa pisang cokelat hangat dan mencium bibirku cepat, "sedang apa sayang?"

No comments:

Post a Comment