Thursday, September 02, 2010

LOGAM (part two).

If..... When..... Which..... Why?????


Pertanyaan itu bertub-tubi menghujam pikiran, disaat Niki dan Adela pergi dari sisiku. Aku sebenarnya tidak ingin serakah, mungkin aku juga pantas disebut si brengsek bermuka dua, seandainya wanita-wanitaku tahu.... errr bukan wanita-wanita, hanya Adela yang belum mengetahuinya.


Adela.... Sebuah nama dan sesosok perempuan yang sangat aku kagumi saat pertama kali bergabung di Perusahaan ini. Cantiknya unik, mandiri dan begitu pintar, ia terpaut dua tahun di atasku. Disaat Perusahaan membuat pabrik ke dua, di waktu itu lah aku dan Adela bertemu. Kehadirannya seperti air di tengah padang pasir, wanita diantara mayoritas pekerja yang hampir semuanya laki-laki. Hal itu yang membuatku semakin jatuh hati, dan mungkin juga hal yang sama yang dirasakan teman-temanku yang lain, tapi aku tak peduli, Singa sejati yang akan memenangkan pertarungan di hutan, dan aku membuktikannya. Usia bukanlah masalah, ada satu hal yang lebih menyulitkan, menggabungkan prinsip diantara kami, aku, Della dan Keluarga besar tidak lah mudah.


Empat tahun berlalu, aku berharap akan ada akhir dari hubungan ini, baik atau buruk aku sangat peduli, berderap perlahan aku hanya mengikuti alur. Di ujung telepon sana Ibu menohokku dengan pertanyaannya:


"Eras, sudah waktunya kamu dan Adela tegas, kalian tetap atau berpisah?"

"Ibu... Aku sudah besar, tolong untuk urusan ini jang mendikte" dengan menahan intonasi aku merasa Ibu benar, waktunya tiba.


- - - o o - - -


"Bun... Kenapa mau sama Ayah?"


"Kenapa Ayah deketin Bunda?"


Dengan enteng Niki menjawab sambil menonton DVD, gemas.... Ini lah Niki, seperti Matahari yang bersinar, terkadang menghangatkan tidak jarang membakar.

(memaksa) memeluknya dari samping aku mencium bibirnya, menatap matanya berhadapan, "Kamu itu ya, aku tanya serius jawabannya sama sekali gak jawab. Kenapa sih Bun sama persis dengan aku, gak mau ribet. Kamu itu aku versi cewek tau. Gak kebayang Bun akhirnya nanti gimana"


Aku bersandar manja diantara ketiaknya, menatap kosong layar televisi, tak mampu berpikir. Tidak ada sahutan dari Niki, yang jelas dunia seakan ikut berhenti, DVD-player tak lagi memainkan perempuan-perempuan berbaju "ajaib" dalam Sex In The City, hening menyeruak dalam pikiran kami masing-masing. Senja bisu dibalik gorden yang masih terbuka.


"Bunda ngga mau maksa Ayah buat keputusan, walaupun sebenarnya ingin kejelasan".


Perlahan Niki bangkit menuju kamar, memilih untuk tidur dengan pikirannya. Aku merasa saat itu seperti si brengsek yang pengecut, dipecundangi kenyataan di depan mata yang bersuara mantap di balik kekhawatiran.


- - - o o - - -


Seminggu berikutnya.....


Pagi ini aku sudah berada di depan rumah yang tidak begitu besar, bercat putih dan berpagar hitam, disana-sini teronggok pot-pot anggrek yang tertata apik, sebagian berbunga dan sebagian lainnya menyembul malu-malu menunjukkan rupa. Adela segera muncul, dibalut kemeja fuchia dan sepatu bernuansa senada, tidak lupa ia mengucir ekor kuda rambutnya tinggi-tinggi, "manis" untuk "ukurannya" yang tomboi. Pagi ini Della banyak bercerita, tidak seperti biasanya, ia banyak sekali tertawa. Dibalik kemudi aku mencuri lihat kearahnya. Ah Adelaa... kalau seperti ini caranya aku tidak mampu mengajaknya berbicara dengan serius, jarang sekali ia seceria ini, ganjil aku melihat meatanya. kosong, menatap jauh dibalik tawanya. Hmmm mungkin nanti saja selepas jam pulang kantor aku mencoba mengajaknya bicara.


Sesampainya di kantor Della memelukku erat, keanehan lain di pagi ini, ia tersenyum. Sebelum menutup pintu mobil ia menengok kembali, "Abang... pulang nanti bisa kita ngobrol? Jemput aku ya kalau ngga sibuk".


Mematahkan kalimatku yang tertahan di ujung lidah, "Sayang... Nanti aku jemput ya, ada yang perlu kita omongin".


- - o o - -


Malam hari seusai dinner di Urban Kitchen Sency bersama teman-teman terbaikku, Dian, Novi dan Febi, saat sedang sibuk memarkirkan mobil ke dalam rumah, ada panggilan telepon yang hampir saja tidak aku angkat, "Iya Dit?"


Dengan suara tenang suara di ujung sana menyeru rindu, "Sayang kamu lagi apa?" Sambil mematikan mesin mobil aku menjawab cepat, "Baru sampai rumah lagi di garasi, bisa telepon aku setengah jam lagi? Oiya cukup panggil aku Niki, Dit, tolong!".


Sudah delapan bulan ini Dito dan aku putus, sangat disayangkan memang. Dito baik juga keras, keras karena ia belum amu pindah ke Jakarta, begitupun sebaliknya aku tidak ingin pindah ke Surabaya. Buntu dengan hubungan jarak jauh, cinta itu pun sedikit demi sedikit terkikis, bukan karena adanya pria atau wanita idaman lain. Keluarga besar aku dan Dito sangat menyayangkan keputusan yang telah kami ambil, tapi orang tuaku sangat tahu keputusan itu lebih bai diambil ketimbang hanya berjalan ditempat. Jujur walaupun cinta itu pergi, rasa sayang aku tetap ada walau tidak sepenuh dulu, dan aku yakin sebenarnya karena faktor jarak lah yang menyebabkan ini. Intensitas pertemuan yang jarang menyebabkan komunikasi semakin sulit, aku menyerah di awal tahun.


"Niki... bisa ngobrol serius malam ini? mungkin mendadak, tapi kalau kamu masih capek masih bisa besok"


"Capek sih Dit, tapi bisa sekarang kok"


"Thanks Nik... Kamu dengerin aku dulu penjelasan aku dulu ya jangan dipotong. Setelah putus aku selama ini berpikir tentang kita, aku tepatnya. Kesalahan aku yang egois yang ngga berusaha pertahanin kamu. Ternyata aku bodoh, buat apa aku berkarir disini kalau tidak ada tujuan, kebahagiaan itu ada di kamu sayang, maaf kalau ngga suka dengar ini, tapi ini hal yang paling jujur yang bisa aku beri tahu. Semoga aku ngga terlambat, di facebook sepertinya kamu masih belum menemukan yang baru, tolong kasih aku kesempatan kedua. Sabtu depan aku ke Jakarta ya, bareng Ayah, Ibu dan Dida, serta keluarga dekat aku yang lain juga, kita tunangan. Aku sudah telepin Papa kamu minta ijin, beliau serahin semua keputusan sama kamu. Kamu bisa sayang? Kalau kamu belum siap dengan jawabannya, bisa dijawab besok, aku juga gak mau kamu jawab kepaksa"


(dua menit berlalu dengan kebisuan).


"Niki?"


"Ya Dit... (menghela napas) Kamu.... I don't know about the answer. Mama Papa sudah tau, aku gak bisa jawab sembarangan, tapi kondisi kita sekarang lain Dit, kenapa gak tanya pendapat aku dulu?? Kamu bener, lebih baik aku jawab besok, atau Lusa?? Honest, i never thought this would happen. I'm tired, you can call me later, sorry".


Telepon yang begitu tiba-tiba yang membuatku tak siap, sudah setengah jam aku hanya menatap langit-langit yang tak ada artinya. Masih berpakaian lengkap, blazer Topshop yang aku pakai terasa mencekik sekarang. Ketukan dari luar kamar membuatku gugup, Mama dan Papa tersenyum......


- - o o - -


Dentingan sendok dan garpu begitu nyata didengar, selingan obrolan-obrolan pengunjung lain pun tak terdengar di restoran ini. Aku bingung harus memulainya dari mana, makanan yang ku pesan pun rasanya sulit untuk dicerna. Malam begitu hening, tidak seceria warna fuschia yang aku harapkan tidak akan membuat suasana bertambah sendu. Akumulasi rasa lelah selama ini yang selalu aku ingkari mungkin terlihat jelas di wajahku sekarang.


"Sayang kamu mau ngomong apa?" Eras tiba-tiba mematahkan lamunanku.


"Eh?? Emmm kamu sudah selesai makan?" bodoh sekalu pertanyaanku ini, malah membuat aku semakin terlihat gugup. Tidak ada cara lain, akhirnya aku benar-benar meletakkan sendok dan garpu. Menatap lurus wajah Eras, hal yang sangat ingin aku hindari sebenarnya malam ini.


"Abang, mungkin kamu juga tau arah obrolan kita kemana, sudah saatnya kita ambil keputusan". Aku berusaha memasang muka tegar.


Mukanya terlihat tegang, lalu ia tersenyum samar", Aku memikirkan hal yang sama sayang, aku bingung seminggu ini mencari waktu yang tepat"


Aku tak mampu menatapnya lama-lama, sesekali aku menatap matanya yang teduh. Sekuat apa pun aku sebagai perempuan, untuk urusan cinta yang sesintimentil ini membuatku rapuh. Mataku mulai terasa panas, aku harus kuat menahannya, ini keputusanku. Keputusan di atas keegoisan orang tua kami berdua.


"Aku sudah berbicara ini sebelumnya dengan orang tuaku. Seperti sebelumnya, mereka tidak mengijinkanku untuk terus Bang, aku sudah berusaha meyakinkan........." Suaraku lamat-lamat sayup terbawa angin, aku menunduk memperhatikan gelas kosong, sama seperti jiwaku. "Sepertinya  kita harus sampai disini Bang, kita masing-masing tau alasannya". Memberanikan diri aku menatap matanya, mungkin untuk yang terakhir.


Eras menggenggam tanganku, "Sayang, aku tahu mungkin ini semua ngga mudah, masing-masing tersakiti, tapi kita tau mungkin ini memang jalan yang terbaik. Seandainya takdir berkata lain, aku senang sekali....."


Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku, perjalanan selama empat tahun kandas hanya dalam satu hari. Eras berpindah tempat duduk disebelahku, memelukku erat. Aku sudah tidak peduli akan pandangan orang-orang yang mencuri lihat ke arah kami. "Abang..... antar aku pulang saja, sekarang!"


- - o o - -


Rasanya sudah ratusan kali aku mencoba menelepon Niki, masih saja tidak ada jawaban di ujung sana, stress juga tidak ada kabar sama sekali. Tidak biasanya Niki seperti ini, tidak mungkin juga aku nekat datang ke rumahnya sekarang. Arrggghhhh Niki.... Kamu dimana???


Sabtu, Minggu, Senin, Selasa sudah terlewati, baru Rabu ini akhirnya aku berhasil menemui Niki. Setelah berpisah, aku meminta ijin Adela untuk mencari wanita lain, permintaan Ibu dan Bapak yang ingin segera menimang cucu, padahal usiaku masih 29. Della mengangguk lemah saat itu, senyumnya bagai malaikat kecil yang tidak sepantasnya tersakiti, lagi dan lagi aku merasa bodoh. Seandainya semua orang tahu perang batin yang aku alami. Aku sayang Adela, seandainya kami ada dalam satu prinsip, mungkin sudah dari setahun kemarin dia menjadi Ny. Erastes Hadimulyo.


"Bunda kenapa?" Aku memperhatikan Niki yang tampak kurus dan pucat. "Bunda sakit kenapa ngga bilang?"


"Ayah... Sebaiknya kita selesain semuanya sekarang!" Niki menjawab cepat, menatapku, lalu mengalihkan pandangan lurus ke jalanan.


Sore itu aku menjemputnya, memaksanya bertemu. Belum sempat mobilku pergi meninggalkan gedung kantornya yang terpisah, Niki membuatku tertegun.


"Kamu kenapa sih Bun? Fine kita selesain sekarang. Aku sudah coba telepon kamu dari Jumat malam, tapi apa yang kamu lakukan selama empat hari ini?" Berapi-api aku menahan kesal, mencengkram erat kemudi, kesal karena aku mencintainya tapi tidak mampu menjaganya dengan baik. "Aku cuma mau kasih kabar gembira, mungkin ini keterlaluan, tapi aku sudah putus dengan Adela"


Secepat Niki menoleh, secepat itu pula ia menangis. Please Nik, jangan disaat ini. Aku bingung kenapa perempuan cepat sekali menangis.


Perlahan aku memeluknya, "Kamu kenapa Bun" Ini bukan Bunda yang aku kenal, biasanya kalau aku marahin kamu balik marahin aku. Kamu ngga pernah nangis, kamu itu Singa betina yang kuat".


Menolak pelukanku ia semakin tersedu, "Maaf Yah, aku harus benar-benar selesain semuanya sekarang, hubungan kita"


"Kenapa tiba-tiba?? Kenapa disaat aku sudah yakin sama kamu??"


"Dito melamar aku, Sabtu nanti. Papa Mama sudah setuju, mereka masih sayang Dito......" kalimat itu teputus diganti isakan yang semakin tertahan.


"Kamu masih sayang Dito?"


Niki menatapku lama, "Aku ngga tau. Selama ini aku dan Dito jarang sekali komunikasi. Kamu yang ada disamping aku setiap hari. Jumat malam itu aku berpikir keras, Mama Papa menyerahkan semua keputusan ke aku, tapi Yah demi Tuhan aku tau banyak sekali harapan dibalik mata mereka, aku ngga sanggup nolak..."


Aku hanya membisu, semua ini jauh sekali dari bayanganku selama ini. Aku hanya ingin Niki, hanya ia yang benar-benar mengerti siapa aku sebenarnya. Aku teringat setahun yang lalu saat aku dan Niki bertemu dalam rapat kantor, selalu membahas keuangan dan resiko-resiko Perusahaan, awalnya hubungan kami adalah hubungan yang profesional, lambat laun setelah temanku Hanafi mengompori untuk berkenalan akhirnya jiwa laki-laki ku tersentil untuk mendekatinya. Ah cukup! Ini hanya kenangan manis yang sulit untuk dilupakkan.


Saat itulah aku sadar, perlahan-lahan milikku semuanya pergi, Adela dan Niki. Matahariku kini telah pergi, singa betina yang penuh gairah, partner berantem sepadan disaat aku bosan oleh kerjaan. Dulu aku lekat sekali dengan Niki, bagai kepingan logam yang tidak terpisahkan antara sisi yang satu dengan yang lainnya. Aku salah. Aku melewatkan arti sebenarnya kepingan logam. Lekat, namun terpisahkan.


Bunda...... I Love You.

No comments:

Post a Comment