Monday, January 09, 2012

MATAHARI KEMBAR

Siang begitu terik. Tak ada desir angin sedikitpun untuk mengurangi hawa panas yang berlebih. Pohon-pohon merunduk dengan daun-daun yang terkulai lemas. Hari ini terasa begitu lambat dari hari-hari biasanya. Di salah satu tempat, seorang gadis sedang melakukan ritual  persembahan agar Tuhan memperpanjang waktu untuknya. Circa, perempuan yang memiliki kemampuan sihir hitam, ia terus saja menari di tengah rumahnya yang menyerupai colloseum tanpa mengenakai sehelai benang di tubuhnya sambil memegang belati. Seekor Chimaera tak berdaya dihunusnya dengan liukan yang begitu anggun, darah segar mengalir di bebatuan dari kepala Singa, Ular dan Kambing. Circa mencampur kemudian meminumnya, lalu menyisakan sebagian ke dalam botol kaca, ia masih terus menari sambil mengucap mantra. Dirasakan oleh tubuhnya panas yang semakin menjadi. Hanya penyihir dengan ilmu tinggi yang mampu mengalahkan Chimaera tanpa merasa beban.

Matahari seperti membara, Erica memicingkan mata melihat kaca jendela di seberang. Batinnya mengatakan ada seseorang yang sedang melakukan ritual hitam. Kuat sekali instingnya mengatakan matahari sedang dikuasai penyihir, aura gelap bergejolak di pelupuk matanya. Siapaka ia? Atau mereka? Kekuatannya begitu besar dan menakutkan. Peluh mulai menetes dari dahinya yang telanjang. Selembar kain berenda menutup atas rambutnya yang terkucir rapi. Dengan cepat Erica meninggalkan dapur dan berlari ke halaman belakang rumah sang majikan. Hamparan rumput yang luas menyambutnya, barisan ilalang tampak keemasan dibawah suhu yang menyengat. Dilihatnya langit sambil memayungi matanya dengan kedua tangan, dilihatnya Matahari kembar.

Siang yang misterius. Matahari kembar? Apakah ini sebuah pertanda? Matahari terlihat bias, apakah itu hanya bayangan? Bayangan yang terlalu timbul serupa nyata. Lehernya memerah dan terasa semakin panas. Disentuhnya liontin yang ia pakai. Kalung yang seringkali menarik perhatian orang yang melihatnya. Menarik untuk dicuri. Dua buah bulatan sempurna yang bersatu dengan sebuah berlian diantara silangannya. Erica memejamkan matanya menahan panas yang mulai membuat kulitnya melepuh. Panas yang luar biasa dari panas yang selama ini selalu ia tahan. Ia melepaskan kalung tepat ketika sang majikan memanggil namanya berkali-kali karena kesal.
Circa mengerjapkan mata dan tertawa dengan liar, ia kembali ke alam nyata dan pikirannya mulai bekerja. “Akhirnya kamu melepaskan kalung itu, manusia bodoh”. Selama ini Circa tak bisa menyentuhnya. Sihirnya tidak ampuh apabila Matahari kembar masih dipakai sang pemilik. Ia tidak dapat melihat melalui penerawangannya sekalipun. Kalung yang benar-benar mempunyai kekuatan magis. Circa menghampiri sumur dengan tergesa, dilihatnya bayangan seorang gadis berkucir rapi yang memakai selembar kain berenda di kepala. Hah? Bodoh sekali ia merasa tertipu. Dalam pikirannya selama ini sang pemilik Matahari kembar adalah seorang lelaki yang kuat yang mampu menahan ilmunya. Diperhatikannya dengan teliti gadis tersebut. Seorang budak. Seorang menyedihkan yang sedang dimarahi oleh majikan dengan tangan meremas sebuah kalung, seperti miliknya. Circa tersenyum licik penuh kemenangan.

Setengah jam berlalu dari dalam dapur, Erica sedang menggosok panci hitam yang gosong. Pikirannya menerawang. Ia merasa aneh. Kalungnya sudah tidak sepanas tadi. Dipasangnya kembali ke lehernya yang terlihat melepuh. Kulitnya seperti habis terbakar, merah dan perih. Dalam hidupnya, baru sekali itu ia melepaskan Matahari kembar. Entah siapa yang telah memberinya. Orang tua angkatnya bahkan tidak tahu siapa orang tua kandung Erica yang sebenarnya. Erica berbeda. Ia selalu ditindas, namun tidak pernah menangis. Erica tidak pernah sakit walaupun ia harus tidur beralaskan tikar yang sudah bolong disana-sini. Terkadang orang-orang yang bermaksud mencuri kalung tersebut menjadi korban karena keajaibannya yang mampu melepuhkan kulit.

Dengan mata terpejam Erica memusatkan pikiran mencari asal muasal sihir tersebut, ia mencoba berkomunikasi, namun sia-sia mata batinnya tidak sampai kepada penyihir tersebut. Kejadian ini semakin membuatnya bertanya-tanya, rasa penasaran mulai mengoyak otaknya. Erica terlahir untuk berkomunikasi melalui batin, ia bisa saja menyuruh orang seenak hatinya bila ia mau. Tapi hal itu tidak pernah dilakukannya. Kecuali pada suatu sore di sebuah gubuk yang sedang dilewatinya, seorang ibu tua dengan dua anaknya yang remaja menangis dengan histeris, sang Ayah dilihatnya tak mampu berkutik dengan senapan di kepala. Seorang penguasa di daerah kami tanpa ampun mengobrak-abrik gubuk tersebut. Erica tak tahu yang sebenarnya terjadi, namun hatinya merasa iba ketika Ayah tersebut dipukuli dan dihantam dengan senapan. Batinnya berbicara, “Biarkanlah ia hidup, atau kau yang mati”. Dengan satu gerakan pasti, kepala penguasa itu menoleh mencari sumber suara, tak ada lagi orang yang dilihatnya selain Erica di dekat sebuah Angsana. Dengan sebuah isyarat ia menyuruh orang suruhannya menangkap Erica. Namun yang terjadi dalam hitungan menit peluru senapan sudah merobek kepala si penguasa. Tanpa bisa melawan, dengan sendirinya orang-orang suruhan tersebut menceburkan diri ke sebuah sumur didekat gubuk. Tak ada yang bisa melawan kekuatan batinnya. Erica baru menyadari itu. Ia bisa meracuni pikiran siapapun bila ia mau.

Circa menggerutu kesal. Kalung keramat itu sudah dipakai kembali oleh pemiliknya. Penerawangannya tidak dapat menembus gadis itu lagi. Ia memandang sekeliling, matahari kini sudah lebih lembut memancarkan sinarnya, dirasakannya waktu semakin melambat. Sambil menimbang-nimbang botol kaca berisi darah Chimaera, Circa duduk ditepian sumur, ia memejamkan mata dan sudah mengendurkan emosinya. Baiklah untuk hari ini cukup, mari kita bermain-main kembali, Erica!

(B E R S A M B U N G)

1 comment: