Kulihat lipatan baju sudah menumpuk rapi di dalam koper. Tiket pesawat terpampang sinis menatapku dari meja rias. Mungkin kamu memang sudah menyiapkannya sedari dulu, Dinda. Tidak pernah sanggup aku membayangkan bulir-bulir air mata mengalir di pipi halus itu. Hatimu seperti kue yang manis, sabar yang berlapis-lapis walau teriris.
Kepada orangtuamu kamu kembali, aku tak bisa menahanmu, Dinda. Ada sakit yang ingin berontak mengecam, tapi aku hanya bisa diam terpejam. Kamu rapikan kasur sambil tersedu. Tempat terindah saat aku merayumu untuk mencumbu.
Jangan menangis, sayang! Cepat bangkitlah dan raih koper dan tiketmu, pesawatmu berangkat dua jam lagi. Pun aku harus terbang sekarang, tiketku sudah dipegang Malaikat yang tak sabar menyuruhku kembali padaNya.
Kepada orangtuamu kamu kembali, aku tak bisa menahanmu, Dinda. Ada sakit yang ingin berontak mengecam, tapi aku hanya bisa diam terpejam. Kamu rapikan kasur sambil tersedu. Tempat terindah saat aku merayumu untuk mencumbu.
Jangan menangis, sayang! Cepat bangkitlah dan raih koper dan tiketmu, pesawatmu berangkat dua jam lagi. Pun aku harus terbang sekarang, tiketku sudah dipegang Malaikat yang tak sabar menyuruhku kembali padaNya.
No comments:
Post a Comment