Tuesday, March 22, 2011

Saksi Bisu

Aku melihatnya sedang menelungkupkan muka pada senderan sofa yang sungguh beruntung sekali dapat menyentuh kulit kenyalnya. Air matanya mengalir deras, selebat jutaan liter air hujan menenggelamkan suara tangisnya yang pilu.

15 menit yang lalu...

Rima melihatku dari kejauhan dengan raut ragu. Bajunya yang berwarna-warni tidak dapat menyembunyikan paras cantiknya dari ketakukan. Aku ingin menghindarinya. Tak ada yang bisa kulakukan. Rima memergokiku. Menelanjangiku tanpa ampun dengan kelopak matanya yang berayun-ayun. Terbelalak dan menyipit dengan deru nafasnya yang terdengar jelas penuh emosi. Rima menjauh menuju sofa. Membiarkanku tetap terlentang di atas ranjang.

Tak lama pintu kamar mandi terbuka lebar. Sesosok pria muncul dengan memperlihatkan dada bidangnya yang telanjang. Ia hanya mengenakan selembar handuk untuk menutupi kejantanannya. Dilihatnya Rima sedang menangis, wajahnya bingung dan segera menghampiri.

Dengan cepat tangannya mengayunkan sebuah pisau dari keranjang buah di atas meja. Matanya nanar liar. Darah segar bercucuran memenuhi lantai. Kemudian Rima mengiris kemluan pria itu dengan sadis. Diraihnya sebuah kotak persegi dan memasukkannya dengan rapi.

Rima menghampiriku dengan pasti. Dicengkramnya aku dengan kasar. Ia memijitku mencari sebuah nomor dengan tidak sabar.

"Hallo Sayang..."

"Sayang?? Hai Mila, ini aku Rima. Kamu dimana?"

"Uhm... Eh aku di rumah Mbak"

"Tunggu aku ya Mil, sebentar lagi aku sampai sana."

Rima pintar sekali bersuara manis. Ia mendengus dengan bengis. Dibantingnya aku secara sembarang di atas kasur. Dengan cepat ia berganti pakaian dan bergegas membawa hadiah kecil yang mengerikan. Rima tak mau repot merapikan jasad suaminya. Ia hanya mengecup bibirnya sebelum beranjak pergi. "Suamiku yang malang."

45 menit berlalu...

"Hai Mil, maaf ya ganggu kamu malam-malam gini. Ini ada titipan dari mas Rere, dia gak sempet kasih langsung sama kamu."

Rima berlalu pergi memunggungi Mila yang berdiri dengan sejuta pertanyaan. Tak memberinya kesempatan berbicara sepatah katapun. Rima tertawa puas sesaat setelah menutup pintu mobil. Didengarnya suara jeritan dari sebuah rumah.

Sunday, March 20, 2011

Pembuahan Yang Sempurna

Perut ini mulai membuncit. Di luar sana puluhan mata mulai menyipit dengan mulut komat kamit yang menelanjangiku dengan sengit. Aku tak peduli mereka, yang menyayat hatiku adalah pria di depan pintu itu. Matanya sempat menjadi mentari yang menceriakan pagi saat aku membuka mata. Tubuhnya adalah tembok yang kokoh menopang tubuhku disaat malam, maupun fajar. Tapi kini,. matanya adalah sorot senja yang terluka, membuatnya terlihat begitu rapuh dibalik badannya yang tegap.

Pagi yang seharusnya manis serupa teh cammomile yang kusesap pagi ini. Perutku bergejolak seperti sedang beratraksi. Mungkin bayi mungilku sedang melakukan tarian ala pemandu sorak yang sedang menyemangati klub kesayangannya. Perlahan sakitku memudar oleh semangat yang terbakar.

Aku tidak tahu yang mana dosa setelah kumengenal cinta. Buta? Ya mungkin saja itu benar kalau itu inginmu. Sejumput ragu sempat menggelitik, tapi aku lebih tahu bahwa kami bahagia saling melengkapi. Dania. Istri pria itu, menemaniku dengan setia setelah kuajukan surat resign. Ada satu surat lagi yang tak lupa diberikan. Surat cerai dari Dania. Pria itu patah tanpa kata. Hanya bisa memandang kami berdua tak percaya. Dania merangkul pinggangku hangat menuju pintu keluar, membentengiku agar aku merasa nyaman. Aku tatap matanya yang penuh rasa sayang. Aku membalasnya dengan senyum yang mengembang. Dania. Kekasihku. Mimpi kita terkabulkan. Anak kita terbuahi dengan sempurna.

Thursday, March 03, 2011

Teater... Adalah... Saya!

Gemas,
Takut,
Kalut,
Rindu....

Saya hanya bisa tersenyum apabila sedang berpikir secara normal, kewarasan pada tingkat tinggi yang tidak diambil alih oleh rasarasa tersebut.

Hidup akhirakhir ini terasa seperti panggung sandiwara, bukan sandiwara dalam arti orangorang berbohong memakai topeng. Tapi seperti sedang memainkan sebuah teater yang mewajibkan pelakonnya untuk berperan secara total.

Saat harus menangis, maka keluarkanlah seperti hari esok kamu tidak bisa menangis lagi lebih dalam.

Saat harus tertawa, lepaskanlah! Buang semua topeng masalah yang menyergapmu.

Saya berpikir kenapa alur cerita tercabik-cabik oleh seorang new-comer yang tibatiba ikut masuk beradu acting?

Saya adalah sutradara. Saya adalah penulis cerita. Saya adalah pelakon utama. Saya adalah editor. Itulah hidup yang seharusnya.

Kini otak tidak tumpul untuk membuat cerita yang seharusnya. Saat hidup sudah kembali ke normal, logika yang menguasai segalanya.

Saya adalah seorang sutradara dengan predikat ratu es. Sila berpikir sendiri maknamakna dari sebuah es.

Kini sang sutradara hanya bisa tersenyum. Sesekali terbahak sinis akan karyanya.

Kini sang penulis hanya bisa tersenyum. Sesekali terbahak dengan imaji liarnya.

Kini sang pelakon utama hanya bisa tersenyum. Sesekali terbahak mengingat sebuah naskah.

Kini sang editor hanya bisa tersenyum. Sesekali terbahak melihat adegan yang tak seharusnya.

Teater... Adalah... Saya.